Cinta bukan diam
Ditengah kesendirian, aku berbincang santai dengan lamunan.
“Mencintai bukan lah sekedar kata, “Aku cinta!”. Diam pun
bukan menjadi pilihan terbaik. Pernah engkau melakukan hal yang tadinya bisa
menjadi kenyataan dengan sebuah ucapan. Itulah, “Aku cinta!” tetapi sebagian
rasa seseorang, mereka biasanya tak berkata.” Aku berusaha membuka pembicaraan.
“Sakit setelahnya memang resiko terbesar. Alasan, apa yang
mereka punya? Mereka seperti terlalu banyak berfikir tentang akibatnya. Bila berkata,
aku takut mendapat penolakan. Bila berkata, aku takut dia menghindar. Hal
seperti itulah yang menjadikan Diam sebagai pilihan.” Sahut lamunan, menimpali
perkataanku. “Bayangkan rasanya menjadi kamu yang pandai berbicara. Lantang tidak
pernah berfikir matang. Kau dapat dan kau berjalan bersamanya. Sedangkan Diam,
hanya sendiri dalam lamunan cinta yang tidak pernah berhasil dia raih.” Tambahnya.
Aku pun sedikit termenung, mencari jawaban yang tidak begitu
menyinggung. “Ukuran cinta memang bukan dari kata. Tetapi manusia belajar
memahami melalui indra pendengar yang di terima oleh fikiran. Apa jadinya bila
cinta tak berkata? Tanpa tanya?”
“Hati adalah pendengar terbaik. Aku pernah melihat itu dari
seseorang. Bagaimana seorang Bayi hanya menangis dan dia tahu bahwa bayi itu
lapar. Itu hati, ‘kan, yang mendengar? Bukan telinga seperti katamu.”
Jawban itu sontak membuat percakapan kian meruncing. “Telinga
adalah penghubung. Lagi pula cinta Ibu kepada bayinya tidak seperti cintamu
kepada seseorang, itu. Ini lebih sekedar dari itu. Ini berbeda, jauh dari ufuk
barat ke ufuk timur.”
“Lantas harus apa aku. Berbicara atau diam? Rasamu kepadanya
belum terukur sedalam yang kukira. Mungkin kita diam?” Tawarnya.
“Dan sakit setelah di ditinggal pergi?” Aku mengangap itu
ide buruk. “Mengucapkan kata cinta adalah perjuang pertama, bukan?” lanjutku.
“Benar!” Sergapnya. “Lalu?” Lamunan termenung. Dia mengaitkan
tangannya di atas meja dan meletakan dagunya. Berfikir dalam, hingga suasana
sekejam hening.
Aku ikut berfikir. “Sebaiknya aku bertanya kepada hati,
bagaimana menurutmu?” tanyaku kepada lamunan. Rasanya dia belum cukup mahir
dalam hal memecahkan masalah. Lamunan hanya menjadi teman baik disaat kita
menyepi.
Aku coba memanggil Hati untuk datang bersama kami.
Sejurus kemudia Hati datang. Dia menggeser bangku, duduk
kemudian memesan kopi. Pembawaannya ringan. Cocok untuk sosoknya yang bijak.
Berbeda dengan Ego yang selalu ingin menang sendiri.
“Baiklah, karna Hati sudah bergabung di sini… ada beberapa
pertanyaan yang ingin kami diskusikan denganmu.” Tanpa basa-basi. Aku langsung
menuju topik.
“Cinta, apa yang harus kami lakukan terhadapnya? Diam atau
berkata?” Jelas Lamunan kepada Hati yang sedang duduk menunggu kopi.
Menyampaikan perbincangan yang membebani kami sedari tadi.
“Baru saja aku duduk, kopiku pun belum datang… kejam sekali
kalian.” Keluh Hati.
Kami tergelak. “Iya maaf… maaf” saut kami dalam tawa.
“Baiklah, Cinta begitu berarti bagi kebanyakan orang. Lantas
bagaimana menyikapinya. Bila kita diam, apakah seseorang yang diinginkan akan
hadir? Diam, bisa kita ambil cara itu. Bisa! Jika kita mau lari dari kehadiran
seseorang yang kau cinta –“. Belum tuntas Hati menjelaskan, kopi pesanannya
datang.
Diletakannya secangkir kopi dihadapan Hati. Dia terlihat
tidak bergeming. Seakan dia tidak ingin kehilangan kata-katanya yang dia
rangkai karna dihampiri lupa.
“Diam memang menghasilkan banyak kata. Seseorang yang diam
hanya akan sok tahu soal cinta…
Kalian tahu mengapa?” Tanya Hati yang dia selipkan dan penjelasan.
“Mengapa?” Ujar Aku dan Lamunan.
“Seseorang yang diam banyak menghasilkan puisi dan kata
cinta. Sebab apa? Sebab mereka hanya merenung saja tidak melakukan apa-apa.”
“Jadi?” Tanyaku. Lamunan hanya terdiam menyaksikan.
“Kau tinggal pilih. Memulai dengan mengatakan. Atau mengakhiri
dengan berdiam diri.”
“Cinta yang dipendam lama akan mati dengan sendirinya.”
Akhirnya Lamunan bersuara.
“Aku setuju!”
Kemudian mereka berdua hilang. Tubuhnya terhempas beriringan langkah seseorang yang
tidak asing. Sosoknya berdiri dihadapanku. Dia yang akan mendengan pengakuan
tentang Aku, Lamunan dan Hati obrolkan. Tentang cinta yang berucap. Bukan cinta
yang diam dan merenungi kehilangan.
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete