Manusia Merangkap Dewa
“Bapaakkk!!! Bapaakkk!!!”
Riak penduduk saat melihat pujaan hatinya, seorang pejabat di suatu daerah
kecil di ujung dunia. Pejabat yang diidam-idamkan mereka telah tiba dengan jas
putihnya. Setiap program dalam kepemerintahannya mendongkrak daerah itu menjadi
lebih dan lebih baik dari sebelumnya. Mulai dari pembangunan, transportasi dan
juga kesejahtraan rakyat dibidang perekonomian. Dia sosok pemimpin yang
dicintai, benar-benar dicintai.
Setahun lamanya dia
menjabat, masyarakat semakin mencintainya. Tak hanya diidolakan di daerahnya
semata. Nama lelaki itu dikenal hingga penjuru dunia. Dia selalu saja membuat
bangga yang jadi masyarakatnya. Berada di deretan orang-orang berpengaruh di
dunia. Namanya bahkan dicanangkan sebagai calon presiden mendatang.
Disisi kegemilangannya,
dalam dunia politik pasti saja ada beberapa kalangan yang iri atau merasa
tersisih. Berbagai macam gempuran dari partai-partai lain yang berusaha
menjatuhkan namanya. Tetapi dia tetap berdiri diatas kecintaan rakyatnya.
Nahas di tahun kedua
masa jabatannya. Dia menemukan banyak kendala. Kecintaan rakyat yang berlebih
kepadanya membuat Tuhan marah. Dia bukan lagi terlihat sebagai pejabat atau
pemimpin. Masyarakat mengganggapnya sudah seperti dewa. Namanya disebut-sebut
dalam berbagai macam perayaan. Nyanyian pujian dibuatkan khusus buat melambungkan
lelaki tersebut. Serta lebih parahnya lagi. Pejabat berjas putih ini selalu
dijadikan pelarian untuk menampung banyak keluhan. Bukan tidak mungkin itu
terjadi, wajar dia adalah pemimpin. Sayangnya keluhan ini sudah seperti
permohonan hamba pada Tuhannya, sementara Tuhan asli terlupakan.
“Bapak, kami mohon air bersih di daerah kami!”
“Bapak, sungguh engkau terpuji”
“Hebat, Bapak bisa melakukan itu”
“Bapak, kami mohon air bersih di daerah kami!”
“Bapak, sungguh engkau terpuji”
“Hebat, Bapak bisa melakukan itu”
Pujian serta permohonan
yang seharusnya ditujukan kepada Tuhan malah kepada mahluk-Nya. Kemarahan Tuhan
yang kita tidak pernah tahu justru menghukum rakyatnya. Tidak, sebenarnya
tujuan Tuhan adalah menyadarkan, karna Tuhan adalah Maha penyayang.
Awan hitam berkumpul diatas
daerah di ujung dunia tersebut. Gemuruh petir terdengar serta menggetarkan
dasar lantai. Tempat itu sudah sejak seminggu kehilangan sinar matahari. Kali
ini Tuhan benar-benar mengirimkan hujan. Hujan yang teramat deras. Dalam
hitungan menit sudah membanjiri beberapa titik kota. Sungai-sungai
melimpah-ruap mengalir ke gang-gang kecil. Rumah-rumah dengan pondasi yang
rapuh hancur terkikis arus. Orang-orang berteriak sambil memegang erat kepada
benda-benda di sekitarnya yang menurut mereka dapat menyelamatkan mereka.
Dinding pagar, tiang rumah dan di tiang listrik sisi jalan.
Masih saja tak sadar
akan dosa. Mereka menyeru yang bukan Tuhannya. “Bapak Pejabat, tolong!!!”. Tuhan tak pernah merasa gagal. Bila
saja Dia murka, menghanyutkan atau menenggelamkan daerah itu tidaklah mustahil
bagi-Nya. Sekali lagi Tuhan Maha penyayang. Dia menghentikan hujan setelah satu
jam lamanya. Waktu itu cukup untuk membuktikan kekuasa-Nya masih ada.
Setelah hujan reda.
Yang tersisa adalah air yang membanjiri separuh daerah. Tinggi air saat itu
mencapai leher orang dewasa. Korban berjatuhan. Diantaranya banyak yang
kehilangan rumah, keluarga serta harta benda. Kabar ini langsung mencuat ke
permukaan media. Station TV di seluruh dunia mengabarkan berita ini. Nama
pejabat itu kian terkenal. Banyak pakar politik prihatin dan sebagian lagi
justru mencaci. Wajar hal itu terjadi, pasalnya daerah tersebut adalah daerah
yang tak pernah sekalipun tertimpa bencana banjir. Apalagi mengenal daerah itu
adalah daerah dataran tinggi. Sebagian peneliti dunia menganggapnya mustahil
tergenang air walau semata kaki. Nyatanya Tuhan yang memiliki peran aktif
disini.
Seminggu berlalu
setelah satu jam penuh tegur. Ketinggian air mulai surut menjadi sepaha orang
dewasa. Wabah penyakit mulai berdatangan. Pejabat itu kini kehilangan
segalanya. Mulai dari pujian serta kecintaan mereka hilang dihapuskan hujan. Maksud
Tuhan menegur rakyat, yang ditegur justru malah tak sadar. Masyarakat disana
malah menghardik dan mencaci Bapak malang berjas putih tersebut. Disisi lain
pesaingnya dalam dunia politik memanfaatkan momen ini untuk membuatnya semakin terjatuh.
Ibarat kata, terjatuh kemudian ditimpa tangga, pula. Semakin jauh dia dari
pengharapannya.
“Tuhan, bantu hamba.
Hamba telah melakukan segala upaya untuk daerah ini. Tetapi hanya dalam waktu
satu jam semuanya telah sirna. Apa sebenarnya dosa hamba ini, sehingga Engkau menghukum
hamba?” Pejabat bukanlah seseorang yang lupa akan Tuhannya. Ini semua murni
teguran untuk rakyat yang menyandingkan dia dengan dewa. Tuhan memang Maha tahu
tetapi Dia menunggu. Menunggu untuk kesadaran akan segala dosa dan taubat.
0 komentar:
Post a Comment