Dewi Bulan dan Pangeran Katak
“Hi…Hi Katak!” Saut Omo. Seekor ikan koi yang selalu menemaniku di danau. Dia menghentikan lompatanku.
“Iya. Ada apa
Omo?”
“Mengapa setiap bulan
purnama, Engkau terlihat bahagia sekali?”
“Memangnya ada yang
salah, Omo?” Tanyaku. Sejak lama memang tidak ada yang mengetahui kisahku ini.
Perasaanku sangat bahagia apabila melihat bulan purnama. Disaat itulah aku
mengingat tentang dia.
“Tidak, bukan begitu.
Aku hanya ingin tahu, ketika bulan purnama muncul. Kau lebih sering melompat
dan berbicara. Aku senang melihatmu begitu, hanya saja kau seperti menyambut
bulan,” Sambil berputar di dalam air. Omo membicarakan rasa penasarannya
terhadap tingkahku.
Aku yang berada di atas
teratai memerhatikannya. Nampaknya aku memang harus bercerita, mengapa aku
begitu senang melihat bulan yang cahayanya sempurna di malam hari ini.
“Aku senang karna Sang
dewi bulan saat ini tengah memerhatikanku. Dia tersenyum…” Omo melompat.
Perkataanku terhenti karna air yang terciprat dari buntut Omo mengenaiku.
“Omo!” Seruku.
Dia tertawa, “Kau
menghayal. Mana mungkin dewi bulan mengenalmu, apalagi tersenyum padamu.”
“Dia mengenalku!”
Tegasku.
Lagi-lagi Omo melompat.
Kali ini sambil tertawa.
“Cukup Omo! Kalau kau
tidak percaya maka akan aku ceritakan.” Omo menjengkelkan kala itu. Aku
terpancing untuk menceritakan kisah yang telah lama terpendam. Kisah kelam
tentang cinta dan perbadaan.
“Cepat ceritakan,” bujuk
Omo dengan mimik wajah yang menyebalkan.
Aku coba mencari tempat
yang nyaman. Berpindah ke teratai di sebrangku.
"Dahulu aku adalah
seorang manusia…" Mencoba mengawali cerita. Sayangnya ikat nakal ini
lagi-lagi menyelak perkataanku.
“Hah! Jangan berbohong!”
Omo melompat lagi.
“Omo! Kau serius atau
tidak ingin mendengarkan kisahku?”
“Serius!” jawab Omo.
“Kalau begitu kau harus
diam. Jika tidak, maka aku akan berhenti bercerita,” ancamku.
“Em…” Omo berusaha
berbicara.
“Apa lagi, Omo?”
“Aku… Aku kan ikan. Aku
tidak bisa diam. Bagaimana kalau aku berputar?” Jelas Omo.
“Baik, berputar. Ingat
berputar saja. Tidak boleh melompat atau menyela pembicaraanku!”
“Iya…Iya. Berputar saja”
“Baiklah. Ini kisahku.”
***
Dahulu hidupku tak
seperti ini. Dahulu aku adalah pewaris perkebunan apel. Hidup ini
berubah begitu saja karna cinta. Cinta memang begitu menakutkan.
Bukan hanya kau bisa buta dibuatnya tak jarang manusia berdarah-darah
juga hanya karena cinta. Celakanya, Kita membutuhkan cinta.
Kisah ini tentang hal
yang yang sering kita temui. Perumpamaan siang dan malam dengan matahari dan
bulan sebagai tandanya. Mereka sering disebut sebagai pasangan. Pasangan yang
enggan saling berduaan. Mengapa demikian?
Pada dasarnya, aku
hanyalah petani yang setiap harinya pergi kekebun dan memantau setiap tanaman
apel di sana. Malam bulan purnama adalah tanda bahagia bagi seorang petani. Ini
karna pada saat itu bulan sebagai tanda panen akan tiba. Konon dewi bulan saat
itu sedang turun ke bumi untuk mengabarkan kepada pepohonan bahwa bunga yang
mekar telah menjadi pucuk buah, pucuk buah telah menjadi buah muda dan buah
muda telah akan matang.
Sayangnya, purnama kali
ini tak sama. Perkebunanku gagal panen pada saat itu. Purnama kala itu berbeda.
Dia dipertemukan dengan matahari yang disebut gerhana. Mereka saling bersautan
dan berdekatan. Kedekatan mereka justru menciptakan kengerian. Seluruh wajah
malam menjadi gelap sementara bulan diselimuti cahaya memerah. Kami tidak tahu
apa yang menghalangi kedatangan dewi bulan kebumi.
Di pagi hari, para
karyawanku mengabarkan perihal yang terjadi di perkebunan-perkebunan lain.
Mereka memiliki masalah yang sama dengan perkebunanku. Semua tanaman gagal mereka
panen. Peristiwa ini bukan hanya akan berdapak bagi penghasilan kami saja,
melainkan kepada berkurangannya pasokan bagi kebutuhan masyarakat. Kabar ini telah sampai kepada pihak kerajaan.
Seluruh rakyat mendatangi kastil. Akmi berkumpul dan mendengarkan Raja
berbicara. Di umumkannya bahwa kerajan tidak memiliki persediaan gandum untuk
tahun berikutnya. Artinya, untuk tahun ini sampai masa panen di tahun yang akan
datang kami harus berhemat. Ini menjadikanku khawatir akan apa yang terjadi
kepada para karyawanku. Mungkin besok, aku akan menyarankan agar mereka menanam
labu sebagai penunjang hingga persediaan gandum kembali normal.
Keramaian semakin
menjadi-jadi di depan benteng kerajaan. Rakyat yang khawatir berteriak-teriak
menghardik Raja.
“PELIT!”
“Hanya memikirkan
perutmu sendiri!” Teriak rakyat, saut-menyaut.
Belumlah sebulan mereka
lalui. Rakyat sudah ketakutan begini. Aku tidak tahan dengan kejadiaan ini. Aku
memutuskan pulang. Dengan mengendarai kuda dan ditemani orennya senja.
Malam hari, tibalah aku
di rumah. Petani ini mengistirahatkan tubuh dan fikiran di dekat perapian.
Ditemani dengan kopi dan sepotong roti gandum. Aku sengaja melewatkan makan
malam. Fikiranku masih sangat kacau, menyebabkan perut ini tak berselera
mengolah daging maupun sayuran. “Saat ini, sepotong roti saja sudah cukup untuk
melalui malam,” hati ini berujar. Ditengah kemalasan, tiba-tiba saja kudengar
seseorang mengetuk pintu. Suara itu memaksaku bangkit dari sofa hangatku.
Dengan berat hati dan langkah malas aku menghampiri. Aku rasa orang ini
memiliki sifat tidak sabaran. Bayangkan saja, dia tidak henti-hentinya
mengetuk. “Iyaaa… Seberntar!” Teriakku. Saat tanganku menggenggam gagang pintu.
Suara gadis terdengar dari baliknya.
“Siapapun, biarkan aku
masuk…” Sautnya, di balik pintu.
Aku tarik gagang pintu
yang sudah kugenggam tadi. Suara pintu tua rumahku sebenarnya sedikit membuat ngilu. Menyesal aku tidak menggantinya
sejak lama.
Dengan di awali suara
pintu yang ngilu. Sosok tak sabaran
itu mulai terlihat seiring pintu membuka. Saat wajahnya terlihat, maka saat itu
pula dunia malasku teralihkan. Wajahnya bersinar di bawah sinar rembulan. Di
hiasi rambut panjang yang sesekali terhempas angin malam. Geriknya saat
membenarkan rambut yang acak menutupi wajah membuatku tak dapat berkata-kata.
“Jelita,” hanya kata itu yang tercipta di dalam lamunan. Gadis ini memakai
dress putih tanpa hiasan. Mempertegas warna kulitnya. Sehingga terlihat seperti
bercahaya di dalam kegelapan. Tanpa kalian tanya, saat itu juga sebenarnya aku
telah jatuh hati kepadanya. Tak pernah
aku mengerti apa yang saat itu aku rasakan. Sebut saja aku terjatuh dalam cinta
pandangan pertama.
“Ijinkan aku masuk,
Tuan.” Suaranya memecah lamunan. Gadis ini memang tidak sabaran. Belumlah tuan
rumah bertanya, dia sudah menyebutkan maksudnya. Seharusnya dialog di cetia ini
tidak begitu. Tapi apa boleh buat, tidak akan ada juga seorang pria yang mengeluh
bila dipertemukan olehnya.
“Tu… Tunggu dulu. Aku tidak bisa sembarangan menerima
orang,” kataku, tanpa sadar. “Mengapa kau ingin tinggal di tengah perkebunan
seperti ini? Bukankah gadis sepertimu seharusnya berada di kota,” desakku,
meminta kejelasan darinya. Dalam hati, aku sesungguhnya menerima. Bahkan kalau
perlu, dia membawa duplikat kunci rumahku.
“Tuan, Aku mohon… Izinkan aku tinggal di sini,” pintanya
lagi, tanpa memberikan penjelasan. “Sebagai gantinya, aku akan berkerja,”
lanjutnya.
Ini cukup adil buatku.
Selain menjadi alasan kuat untuk membiarkannya tinggal, mempekerjakannya akan
membuat orang-orang tidak berfikir yang macam-macam. “Baiklah, jika kau
memaksa.”
“Terimakasih….” Dia melompat kegirangan. Kemudian serta-merta
menggenggam tanganku dengan kedua tangan halusnya. Kulihat wajah yang begitu
bahagia dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku menjadikannya assistant
rumahtangga. Aku tidak bisa membiarkannya berpanas-panasan di kebun. Dia aku
biarkan mengurusi rumah. Mulai dari bersih-bersih dan memasak. Pekerjaannya tidak
begitu baik. Makanan yang dia buat tidak karuan rasanya dan apapun yang ia
sentuh kalau tidak rusak maka akan lebih berantakan dari sebelumnya. Aku
bingung, dia seperti putri dari kerajaan entah berantah yang terdampar di
perkebunan. Dia cantik dan terjaga. Tetapi untuk mengurusi urusan rumahan dia
tidak bisa apa-apa. Ini seperti kebanyakan wanita di kerajaan yang segalanya di
atur oleh dayang-dayang. Tapi apapun itu, aku tidak ingin dia pergi
kemana-mana. Toh, dia akan cepat belajar.
Hingga suatu saat aku mengetahui siapa dia sebenarnya.
Kala itu dia menanyakan tentang pasokan makanan yang kian menipis. Aku
terkejut, bagaimana mungkin dia tidak tahu apa-apa tentang yang terjadi di
kerajaan ini. Bukankah seharusnya kegagalan panen para petani di rasakan di
seluruh tempat. Pada akhirnya aku menjelaskan semuanya dengan menaruh curiga.
“Tahun ini para petani gagal memanen perkebunannya. Disebabkan
gerhana bulan.”
Kala itu bertepatan setelah ia mendapatkan jawaban. Dia
kembali ke kamarnya. Tetapi ketika fajar aku menemukannya dengan sangat awut-awutan.
Kaki putihnya kotor dipenuhi tanah. Bajunya lusuh dan wajahnya redup lelah
seperti seseorang yang telah berlari mengitari perkebunan sebanyak tiga kali. Kemudian
ia berjalan perlahan mendekatiku dan pada akhirnya ia hampir tersungkur. Sebelum,
Aku sigap menangkapnya sehingga tubuh mungilnya tidak jadi menhantam lantai. Di
pangkuanku ia berkata, “Maafkan aku atas keterlambatanku,” kemudian ia
taksadarkan diri.
“Kau sudah sadar?” Tanaku,
setelah melihat mata lentiknya tebuka perlahan. Dia tersenyum sebagai jawaban
dari pertanyaanku. Seolah berkata, “Aku baik saja.” Meski sebenarnya tidak
begitu, aku tahu betul.
“Apa yang sebenarnya kau
lakukan sehingga kau kotor dan kelelahan seperti ini?”
“Apa itu sebuah
pertanyaan sebagai kemarahan atau kekhawatiran?” Dia bertanya lirih. Dia memang
selalu sejujur ini. Apa yang terlintas di kepalanya maka dia akan mengatakan
dengan seadanya. Seharusnya dia tahu bahwa itu adalah pertanyaan berdasarkan
kekhawatiran. Karna untuk pertanyaan biasa saja itu mustahil dikatakan oleh
seorang pria dewasa kepada wanita. “Aku khawatir, sepagi ini kau datang dari
luar dengan… seperti ini”
“Aku tahu kau orang
baik, Tuan. Akan menceritakan sesingkat mungkin tentang diriku. Aku hanya tidak
ingin merasa berdosa karna menghianati kebaikanmu,” terangnya yang aku tidak
mengerti sama sekali. Seolah ia ingin menceritakan dirinya sejak ia lahir
hingga sedewasa ini. “Ah… Apa yang sebenarnya dia rahasiakan. Apa memang gadis
jelita ini putri raja entah berantah,” fikirku.
Kemudian dia mulai
bercerita.
“Aku adalah dewi bulan.”
Kalimat singkat itu telah menjelaskan semuanya. Tapi akal memang tidak dapat
dengan mudah menerima hal mustahil dengan begitu saja.
“De…Dewi bulan?!”
“Baiklah… Aku akan
bercerita dari awal. Maukah kau mempercayaiku?”
Sejak awal kedatanganmu
aku tak bisa menolak untuk tidak percaya kalau seorang dewi itu ada. Meski aku
tidak begitu mengerti sepenuhnya. Sebab aku hanya ingin tahu semalam kemana dan
berbuat apa. Tetapi dia dengan perasaan ibanya karna telah membuatku khwatir
sehingga dia menceritakan hal yang seharusnya dewi ini rahasiakan. Aku hanya
mengisyaratkan dengan anggukan. Sementara
itu aku tahu, setelah ini aku akan ditugaskan untuk menjaga rahasia ini.
“Aku adalah dewi bulan.
Kita mulai dari aku yang turun ke bumi dulu, yah?”
“Terserah!” teriak
hatiku. Gemas mendengarkan suaranya. Apa-apaan dia ini. Dengan melihatnya yang
setengah terbaring dengan wajah yang bersinar bagai rembulan di tengah siang. Aku
menahan diri untuk tidak menggenggam tangannya dan duduk berseblahan saat
mendengarkan semua ceritanya. Aku bertahan di ujung tempat tidur.
“Kemarin aku
dipertemukan dengan dewa matahari. Dia ingin menikahiku. Sementara aku tidak
memiliki cinta untuknya. Kisah ini sebenarnya sudah berlangsung lama. dia tetap
datang untuk menanyakan hal yang sama. Kami memang ditugaskan di waktu yang
berbeda. Tetapi keadaan dilangit sana sangat tidak bisa dijelaskan hanya
melalui lisan. Sejak kelahiranku, garis takdir sudah mengikat setiap penghuni
langit. Ah! Maksudku seluruh makhluk yang DIA ciptakan memiliki garis takdir
mereka masing-masing.”
“Seperti pertemua kita
ini,” ujarku dalam hati.
“Dan matahari begitu
percaya bahwa akulah takdirnya. dia datang dan kemudian pergi untuk
memberikanku waktu. Memberikanku kesempatan menghadirkan kecintaanku padanya.
Sayangnya, matahari telalu panas buatku. Aku tidak begitu menyukainya. Mungkin aku
membencinya. Hehe… kata-kata itu terdengar kasar. Ya?” tanyanya, sambil tesenyum
manis. “Hingga puncaknya, kemarin. Dewa panas dan menyilaukan itu mendatangiku
dengan memaksa. Aku takut dan aku lari darinya. Untuk kesekian kali aku lari. Aku
tidak memiliki pilihan kecuali itu. Oh iya… aku pun tidak dapat menunaikan
tugasku untuk mengabarkan kepada tanaman di bumi. Sehingga penderitaan ini
menimpa kalian juga. Maafkan aku… Tapi. Tapi semalam aku telah menunaikan
tugasku itu. Sebagai tebusan atas kesalahanku.” Sambil mengatupkan bibirnya, dia
mengembuskan nafas panjang, “Hmm sebenarnya tidak sepenuhnya kesalahanku. Dewa mataharilah
yang salah… harna dia aku jadi tidak bisa turun ke bumi.”
Pantas saja dia begitu
kelelahan. “Tempat mana saja yang kau datangi?”
“Entahlah, aku hanya
mendatangi ladang gandum dan juga sayuran di sebelah barat. Aku tidak bisa
terbang. Jadi aku harus berjalan haha” dia malah tertawa terbahak-bahak. “Aku
tidak tahu bahwa akan selelah ini,” lanjutnya, sambil tertawa. Aku pun tak
tahan dan ikut tertawa mendengar keluhnya. Suara kami tawa membuat dewa
matahari iri. Kurasa.
“Baiklah kalau begitu…”
disela tawa aku berkesimpulan. Belum selesai aku berbicara. Dengan wajah
sedikit memerah dan butir ari muncul dari ujung mata lentik dewi bulan. “Baiklah?”
serunya. “Apa… Apa Tuan akan mengusurku setelah ini?” butir air itu menhalir
membasahi pipinya yang kian memerah.
“Ah…” canggung. “Bukan
itu maksudnya…”
“Apa aku berbuat
kesalahan? Aku sudah menceritakan semuanya padamu. Apa aku harus pergi juga?
Kemana aku harus pergi?” Tangisnya semakin kencang. Dengan nafas
tersenggal-senggal seperti anak kecil yang merengek meminta permen. Hal ini
menjadikanku semakin bingung.
“Bukan.. Tunggu. Biar
aku jelaskan,”
Dia tetap saja menangis.
Aku tahu kesedihannya… tetapi lucu saja bila kejadian itu aku ingat-ingat. Aku
mencoba menenangkannya, kurai wajahnya yang tirus dengan pipi yang basah akibat
air mata yang terus mengalir. “Tenang dewi!” Pintaku. Pada akhirnya dia bisa
mengendalikan perasaannya. Meski sesekali dia harus mengusap cairan yang keluar
dari mata dan hidungnya. tetapi mata lentik yang berair itu tetap mampu
menyihirku. Aku hampir lupa untuk berkata-kata. Tanganku yang meraih wajahnya
tergantung lama. sementara mataku tak henti memandang kedalam mata miliknya. Wajar
saja dewa matahari tergila-gila padamu. Lamunanku tersadarkan karena suara
tarikan nafas yang beriringan dengan air di hidungnya. “Ok… Sudah tenang
sekarang. Baik aku akan jelaskan maksudku,” jelasku.
“Aku mohon, Tuan” dia
masih curiga bahwa aku akan mengusirnya.
“Tenang, aku tidak akan
mengusirmu dari rumahku ini. Aku tidak sekejam itu kepada dewi bulan. Lagi pula
rumah ini terlalu besar untuk kutinggali sendirian.”
Dia mengusap air mata
yang membasahi pipinya. Setelah aku menarik tanganku dari wajahnya. “Bagaimana
kalau kita menaiki kuda untuk mendatangi setiap perkebunan?”
“Ahhaa… Iya kau benar!” teriaknya
kegirangan di tempat tidur. “Mengapa tidak terfikirkan olehku, ya?” dengan
wajah menggemaskan dia bertanya ke pada dirinya sendiri. Setelah terdiam aku
hanya bisa menertawainya.
“Haha… Kau tidak cerita
sebelumnya kepadaku. Jadilah seperti ini kau sekarang. Dewi yang tidak bisa
terbang,” meledek.
“Huuu… Kalau aku bisa
terbang. Kau pasti akan kesepian karna aku pasti akan pulang ke kayangan.” Bak petir menyambar. Sesuatu yang tidak pernah
aku fikirkan dari dirinya. Apa yang terjadi setelah pertemuan ini. Bagaimana kalau
kecintaan ini hanya sebatas aku memandangi bulan? Padahal dia ada dihadapanku
sekarang. Dengan tidak sopan aku mendatanginya. Tangan kiriku aku tempelkan di
bagian pipi sebelah kanannya. Sementara rambut yang terurai di sana ikut
tergenggam. Aku pun dengan sengaja mendekatkan wajahku. Mataku menatapnya,
semakin dalam tatapanku semakin aku tidak bisa mengendalikan fikiran itu. Kehilangannya?
Tidak. Dia milikku sekarang. Aku kecup bibir tipis merah mudanya itu. Aku mengulumnya
dengan kecintaan. Meski aku tahu cinta
dan nafsu selalu beriringan. Tetapi untuk
mendengar kata perpisahan aku tidak mau. Tidak, untuk saat ini dia milikku. Egoisku.
Dewi bulan tidak
melakuakn penolakan terhadap apa yang aku lakukan. Setelah apa yang sudah aku
lakukan. Aku menatapnya, “jangan katakana perpisahan. Aku mencintaimu sejak
pertama kau berdiri di pintu rumahku. Dan sekarang kau berada di dalamnya. Maka
terbang atau pun tenggelam aku tidak ingin mendengar perpisahan itu. Kau terbang
maka tebanglah dan kembali. Dewi mengangguk, setuju. Kami berbalas senyum. Bila
saja dewa matahari melihat kami, kurasa dia akan semakin iri.
“Istirahatlah, malam
nanti kita akan mengadakan pertualangan.” Aku menyelimunya dan mengatur bantal
untuk kepla Dewi bulan. Aku tidak pernah memiliki panggilan yang pas sampai
saat ini. Sebagai katak aku hanya
menuggu kutukan ini pergi dan kami bersatu kembali. karna saat itu adalah saat
terindah dan saat terburuk buatku. Selain kehilangannya aku juga kehilangan
kedua kakiku. Aku kini merangkak dan melompat sebagaimana yang engkau lihat, Omo.
“Ternyata engkau
benar-benar bertemu dengan dewi bulan?” Tanya Omo.
“Ya, begitulah.”
“Lalu, bagaimana rasanya
berciuman dengan Sang dewi bulan?” tanyanya.
“Omo, Kurasa pertanyaan
itu sebaiknya tidak kau tanyakan. Mengingat bibirmu lebih seksi dari pada
seorang Dewi, karna kau kan ikan Koi.” Mencoba tak terbawa emosi. Berbicara
dengan Omo memang memerlukan kesabaran ekstra. “Apa boleh aku lanjutkan
kisahku?”
“Lanjutt kapten!” Omo
memegang janjinya. Dia tidak melompat. Dia hanya berenang berputar di bawah
teratai yang aku diami.
Saat itu malam tiba.
Kondisi dewi bulan semakin membaik. Dia memang dewi, sehingga kekuatannya
membantunya cepat pulih dari “hanya kecapekan”. Sayangnya malam itu adalah
malam terakhir kami bersama. Kami berkuda mendatangi setiap perkebunan di
sekitar kerajaan. Di pangkuanku dia menjulurkan tangan, menyentuh setiap
dedaunan. Dengan sentuhan tersebut, aku menyaksikan bagaimana ranting-ranting
memunculkan bunga, bunga-bunga berubah menjadi buah muda dan buah muda menjadi
buah matang.
Tiba-tiba saja langit
memancarkan cahaya kemerahan. Sekelebat cahaya
menghantam bumi. Tidak menimbulkan ledakan tetapi suaranya menggemparkan
hewan-hewan. Burung-burung terbangun dari lelap tidurnya dan terbang kesana
kemari dalam gelap. Kudaku melompat ketakutan
dan lari ketengah hutan. Sekali lagi, langir mengirimkan cahaya yang sama.
“Celaka!” seru Dewi.
“Ada apa?” tanyaku
penasaran. Denagn lari kuda yang semakin kencang. Aku berusaha untuk tidak
terlalu panik dan mengendalikan kudaku ini.
“Cahaya itu… mereka
adalah utusan dewa matahari. Aku lari dari kayangan dan mereka jelas akan
mebawaku kembali,” jelasnya.
Kuda kami terhenti. Kami
terpojok. Di hadapan kami danau besar menghadang jalan. Sementara kuda kami tidak mau kembali
kebelakang. Sebagai hewan nalurinya sangat kuat akan bahaya.
“Apa mereka prajurit
langit?” tanyaku. Kali ini aku panik. Kami berdua turun dari kuda. Sementar kuda
kami tidak henti-hentinya berputar seperti mengejar buntutnya sendiri. Tiba-tiba
saja ada hembusan angin dari arah belakang kami. Aku rasa inilah saatnya melihat
bagaimana wujud tentara langit yang membuat kuda kami lari terbirit-birit. Kemudan
mereka berdua tiba, saat itu runtuhlah kesombonganku. Dengan perawakan yang tinggi
besar, tubuhnya berukan dua kali pria dewasa. Mereka berjubah gelap, aku lihat
hanya sebuah cahaya di wajah dan lengannya. Mungkin bila jubbah itu tersibak
maka mala mini terlihat bagai siang. Dua tentara langir itu bersayap. Jumlah sayap
mereka berbada. Satu di sebelah kiri memiliki dua sayap, sementara yang sebelah
kanan bersayap dua. Dia melayang di udara, semakin mendekat kearah kami.
Di tengah ketegangan,
aku merasakan sentuhan halus di tangan kiriku. Sentuhan yang menenangkanku. Perlahan
keringat dingin yang keluar dari pori-pori dahiku hilang. Aku mampu bernafas
setelah sebelumnya terhenti karna kengerian melihat dua tentara langit ini. Aku
menyembut sentuhan halus itu. Aku menggenggamnya erat. Aku takan melepaskannya.
Apapun yang terjadi.
Aku menarik Dewi
kebelakangku. Dengan kebodohan itu rasanya sudah cukup untuk menunjukan bahwa
aku memang benar-benar mempertahankan keberadaanya. Membuktikan aku akan
menghentikan kedua mahluk ini. Tapi Dewi tak ingin mencelakaiku, tak ingin
sesuatu yang buruk terjadi padaku. Dia malah balik menariku kebelakangnya. Dan
kemudian ia bernyanyi…
Suara merdu itu ternyata
bahasa penduduk langit. Karna nanyian mereka berbalas. Aku perlahan mengerti. Dewi
tidak bisa lari dari takdirnya sebagai penduduk langit. Karna itu dia
mengadakan negosiasi. Entah apa yang mereka bicarakan kala itu…
Salah satu dari mereka
mendekatiku. Tentara bersayap tiga menjulurkan tangannya yang bercahaya. Mataku
tak bisa jelas melihat karna pancarannya menyilaukan. Perlahan pandanganku
kabur. Beberapa saat aku merasakan kedua tangan Dewi menggenggam wahagku. Kemudian
ia menciumku. Aku berusaha melepaskannya. Karna yang aku butuhkan saat itu
adalah dirinya. Aku tidak menginginkan ciuman perpisahan itu. Tetapi rasanya
terlambat. Cahaya itu semakin menenggelamkanku. Aku tidak bisa lagi melihat. Semua
menjadi bercahaya. Samar aku dengar, “Tunggu aku saat purnama. Aku melihatmu
dari kejauhan dan aku berjanji akan selalu tersenyum di atas sana untukmu.”
“Saat tersadar aku sudah
menjadi katak seperti yang kau lihat sekarang ini, Omo.”
Omo yang sebelumnya
berputar, kini terdiam. “Omo kau kenapa? Bukankah ikan tidak bisa diam, seperti
yang kau bilang?” tanyaku penasaran.
“Aku sedang menangis…
Ceritamu menyakitkan sekali,” jelas Omo, yang katanya sedang menangis.
“Mengapa bulan dan
matahari tidak pernah berpasangan. Mengapa siang dan malam tidak pernah dipertemukan.
Mungkin Dewi tak lelah berlari,” Renungku dalam hati.
“Dewi tidak akan datang
bukan?” Tanya Omo.
“Sepertinya begitu…” pasrah
dengan jawaban yang tidak pernah aku temukan.
Omo, “Lalu kutukanmu? Apa
akan selamanya kamu akan begini?”
“Aku sudah terbiasa
melompat di bawah purnama. Aku sudah terbiasa dengan bau amis ini. Jadi tenang
saja, aku tidak akan mengeluh.”
Pertanyaan setiap mahluk
akan sama saja. “Takdir ini, sampai mana akan membawaku pergi.”
Tanpa sadar purnama
semakin terang. Suara katak-katak di danau bersautan. Aku pun sama. Omo kali
ini melompat girang. “Dewi bulan, kaukah itu?” seorang gadis dengan dress
putihnya turun dari langit. Melayang mendekatiku.
“Iya ini aku…” dia
tersenyum. Dewi bulan kembali kepadaku. Dia datang! Dia datang!
Takdir ini sampai kapan
akan membawaku pergi?!
“Aku pulang, aku akan
membawamu pulang, Tuan,” jelasnya.
Aku masih dikelabui
rindu. Aku tak begitu menanggapinya. Di dalam kedua tangan yang tertungkup membentuk
mangkung aku melompat-lompat. Tangan halusnya tidak berubah, wajahnya tak
berubah, mata lentiknya tak berubah.
Kami tertawa, Dewi
tertawa dengan suranya dan aku tertawa dengan suara kataku. Membuatnya semakin
kegelian. Omo masih melompat-lompat kegirangan. Malam itu memang ramai. Karna semua
hewan malam menyambut kedatangan Dewi bulan.
“Cukup… cukup ahaha”
pintanya. “Suaramu lucu…haha”
“Huftt. Jangan meledekku…Aku
ini sekarang seorang katak.” Candaku.
“Baiklah, Tuan katak. Pejamkan
matamu!” Pintanya.
Aku pun diam. Tanpa fikir
panjang aku memejamkan mataku, sesuai permintaan kekasihku.
Dan tiba-tiba, rasa yang
telah lama hilang itu kembali lagi. Bibir merah jambu yang dahulu kucium tanpa
permisi itu menempel kembali di bibir katak ini. Perlahan aku merasakan
keanehan. Dewi melepaskan tangannya. Kakiku perlahan membasah. Aku merasakan
lumpur di bawah sana. Tanganku mampu meraih bagian belakang kepala Sang Dewi.
Bibirku mulai bisa digerakan kembali. Mengulumnya dalam rindu dan nafsu. Cinta
yang lama tak beralamat kini menemukan tempat pulang. Dewi melepaskannya, “Sekarang
buka matamu!”
Perlahan kubuka mataku
dengan hati-hati. Kutukan ini berakhir sampai disini. Aku kembali menjadi
seorang manusia. “Hah? Aku kembali...” teriakku.
“Omo… Aku kembali!” Aku
raih Omo dari air. “Aku kembali, Omo!” Omo hanya membuka dan menutup mulutnya.
Ikan Koi nakal itu sudah tak lagi bisa berbicara. Ah. Aku yang sudah tak bisa
lagi berbincang dengannya. “Omo…?” “Omo…?” Kesedihan, apa memang selalu ada di
tengah kebahagiaan?
“Omo… aku berjanji akan
selalu mendatangimu,” ujarku kepada, Omo. Dia masih tetap berusaha untuk
bicara. Terlihat dari mulutnya yang membuka dan menutup. Aku menarunya kembali
kedalam air. Omo pergi menjauh dariku. Dia benerang sangat cepat. Ikan nakal
itu sedang mencari tempat aman untuk menangis. Aku tahu itu.
Sementara Dewi bulan,
dia menetap tinggal bersamaku. Aku heran mengapa penduduk langit bisa
mendapatkan kesempatan seperti ini. Apa kisah ini juga terjadi di tempat lain?
Dewi bercerita, “Aku di
izinkan kembali karna sebenarnya pada saat aku di bawa oleh kedua tentara ke
kayangan. Aku melakukan perjanjian. Aku bilang kepada mereka bahwa dengan
mengutukmu kau akan membuktikan cintamu itu asli kepadaku. Serta apa bila kau
bersabar dengan tidak mengeluh, maka kutukan itu akan hilang dan akuuu… di
izinkan hidup menua bersamamu,” jelasnya. “Dan kamu, sama sekali tidak
mengecewakanku. Aku mencintaimu petaniku. Kau berhak memanen cinta dari Dewi
bulan ini.”
“Apa kau masih seorang Dewi?”
“Kau meledekku?!” tanyanya dengan halis tertekuk.
“Bukan begitu haha…”
“Terserah… Huftt” Merajuk.
“Tenang saja. Kau masih
Dewi di rumah ini…”
Dia tersenyum. Dan menyandarkan
kepalanya dipundaku.
Aku khawatir dengan
matahari esok pagi. Apa dia akan menyengatku dengan panas saat melihat Dewi yang
ia cintai berada di sisiku? Ah… matahari memang selalu sepanas itu bila melihat
bumi.
Hilmanhar
Bekasi, 8 Oct 2017
#berdarah #Cinta #Hidup #Celaka #Matahari
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete