Kia from North

Terkurung di Kampung Halaman



Kia berlari, di dahinya mengalir darah membasahi pipi. Gadis empat belas tahun itu menjerit meminta pertolongan. Hanya saja tidak ada seorangpun selain dia di tengah gang itu. Setelah merasa semakin jauh dari bahaya. Si malang itu bersembunyi.  Dengan amat ketakutan Kia berjongkok memeluk lutut disebelah tank sampah. Wajahnya pucat pasif seperti mayat hidup. Tatapan kosong dan air mata yang tidak mau berhenti mengalir di pipinya.
Bagaimana tidak, Kia lari meninggalkan seorang wanita yang sengaja mengorbankan dirinya sendiri. Rela dijamah dan direnggut kehormatannya demi melindungi putri tercinta. Dengan dress kuning lusuh gadis itu tak henti-henti memikirkan nasib ibunya. Dingin dan gelapnya malam menyelimuti Kia. Tanpa sadar dia tertidur dengan posisi yang tidak berubah.
Anak-anak sekolah mengayuh sepeda kencang. Mereka melintasi jalanan yang becek kemudian menghasilkan cipratan yang mengenai Kia.. Sontak saja gadis itu terbangun. Kia menatap langit. Pagi datang dan dia berhasil melewati malam yang kelam. Sementara itu terfikir kembali tentang ibu. Dia kemudian berlari mendatangi rumah. Berharap menemukan dan mengetahui kabar terbaik. Gadis itu sadar wajah penuh darah dan dress kuning lusuhnya mengundang banyak perhatian.  Kia tidak perduli dan terus berlari.
***
Di negeri Bambu Kia tidak memiliki siapa-siapa selain ibu tercinta dan paman Zing yang telah menolongnya. Dia dan Ibunya lari dari Utara, Negara asal mereka. Dia lari karna Negara mereka bukanlah sebuah Negara yang dimana rakyatnya diberi kebebasan hidup. Rumah yang seharusnya disebut rumah oleh Kia justeru terasa bak penjara. Bahka lebih parah lagi sampai-sampai tatanan rambut pun harus dibuatkan peraturan.
Segelintir orang yang memiliki keberanian memutuskan untuk lari. Bertebaran mencari perlindungan ke negara-negara tetangga. Setatus mereka adalah pengungsi yang dianggap imigran ilegal. Alasannya karna negara itu tidak sedang dalam komflik peperangan ataupun masalah ekonomi. Utara adalah negara dengan kepemerintahan yang mengharuskan warganya agar taat dan tidak melirik keluar. Pemimpin mereka menggangap dirinya Tuhan dan rakyat harus mematuhi segala perintah yang telah dia tetapkan. Itulah masalah utama Amami membawa Kia pergi.
Warga tertekan. Tak ada siaran internet, berita luar negeri, baju-baju modis, bahkan di Utara diwajibkan hanya melihat saluran TV milik pemerintah saja. Pekerjaan dengan system perbudakan yang kental. Makan sekali sehari tak jarang mereka lakukan untuk mencukupi pengeluaran dari hasil gaji. Siapa sangka ternyata Negara dengan lambang bintang merah merupakan pencitraan dari darah dan kesengsaraan warganya.
Ibu Kia berencana untuk lari dari Utara menuju negeri Bambu.
“Apa yang terjadi, Mom?” Tanya Kia yang kebingungan saat melihat ibunya sibuk berkemas.
“Cepat kemasi barang-barangmu!” Perintah Amami.
  “Kita akan pergi kemana?” Kia tetap penasaran.
“Cepat! Waktu kita tak banyak” sambil melempar tas ransel kearah Kia.
Dalam keadaan bingung Kia mengambil ransel dan menuruti perintah. Sedikit pakaian yang ia bawa. Dia tidak tahu bahwa Amami akan membawanya jauh. Wanita empat puluh tahun itu ingin segera pergi sebelum mata-mata pemerintah memergoki mereka berdua.
Warga yang memiliki keberanian sudah berencana melakukan hal yang sama dengan apa yang Amami lakukan. Hal ini mendasari keberanian Ibu single parent ini untuk pergi. Tanpa suami tak menjadikannya lemah dan pasrah dengan keadaan. Dia tidak mau melihat gadis kecilnya menderita di kampung halamannya sendiri. Dia bertemu dengan teman lama ayah Kia. Dia adalah Zing, seorang nelayan dari negeri Bambu yang sering menepi di pantai sebelah selatan. Disana tidak banyak polisi atau mata-mata pemerintah. Sehingga bisa dibilang lubang kecil yang terlupakan.
Zing menunggu Amami dan Kia di atas kapalnya. Amami menyelinap dimalam hari. Jarak dari rumah menuju pantai sekitar empat kilometer. Amami harus berlari agar mempercepat waktu keberangkatannya.
“Mom, aku tidak kuat lagi untuk berlari” keluh Kia yang kelelahan.
Amami pun merasakan hal yang sama. Akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat sejenak. Beberapa saat kemudia ada sorot lampu mobil yang berjalan kencang melintas di hadapan mereka. Amami terkejut setelah melihat bahwa itu adalah mobil patroli polisi. Dia bangkit dan menggendong Kia dipunggungnya. Berlari kembali denyusuri jalan sepi.
Mereka berdua akhirnya sampai. Amami langsung mendatangi Zing yang sejak tadi sudah bersiap-siap di kapalnya.
“Kalian sudah siap?” Tanya Zing.
“Siap!” Jawab Amami yang hampir kehabisan nafas.
Kia hanya menatap curiga kearah Zing.
Zing menyadari tatapan Kia. “Hi, cantik! Aku Zing teman baik papamu” Dia mencoba menghangatkan suasana. Memperkenalkan dirinya kepada gadis cantik itu.
“Paman kenal papaku darimana?” Tanya Kia.
“Ceritanya panjang, sebaiknya kamu makan dan minum dulu” sambil menyodorkan sepiring nasi dan ikan bakar serta air minum. “Paman ingin mengangkat jangkar dulu. Setelah itu kita berangkat pergi dari Utara menuju Negeri Bambu.
“Baiklah. Kebetulan aku lapar” Menyeringai.
Amami tersenyum melihat anaknya tak kehilangan semangat setelah diajak lari tanpa tahu arah tujuan.
Setelah sampai di negeri Bambu. Zing menyewakan rumah untuk mereka berdua. Ironis, mereka bertetangga dengan pria yang terkenal suka menjual wanita. Keluar dari kandang singa masuk kelubang buaya. Itulah yang dialami oleh mereka. Pria itu mengincar dan hendak memperkosanya. Kia lari sementara Amami yang menjadi gantinya.
***
Sampailah Kia di ambang pintu. Kejadian semalam membuat dia takut untuk membuka. Memori itu menyisakan bekas mendalam. Saat melihat keadaan dia tidak lagi menemukan sosok ibu disana Sorot matanya kembali redup. Pipinya kembali basah. Tiba-toba seseorang dengan bau alkohol yang menyengat memeluk dari belakang. Terkejut setelah tahu bahwa pria itulah yang memperkosa ibunya semalam. Gadis itu ketakutan. Tetapi bagi pria hidung belang itu. Dia adalah mangsa yang empuk.
Kia tidak bisa lari lagi seperti sebelumnya. Dia terjebak di rumah sendiri. Gadis itu berteriak sekencang-kencangnya dan berlari menuju dapur. Sedikitnya dia tahu apa yang harus dia lakukan. “Membela diri”. Dia mengambil sebilah pisau. Dia menghampiri pria tersebut. Untungnya Si hidung belang itu dalam keadaan mabuk, sehingga dia tidak memiliki pertahanan yang cukup ketat.
“Dimana ibuku?” Bertanya Kia sambil dengan sengaja menusukan pisau itu ke perutnya.
Pria itu terkapar sambil tertawa. Kia kembali menusuknya dan menanyakan hal yang sama. Samapi lima kali tusukan hingga tewas tapi tak ada jawaban yang didapat.
Teriakan Kia direspon warga. Sayangnya yang mereka lihat adalah mayat dan pisau. Gadis cantik itupun ada dalam tahanan polisi. Pihak keamanan memita keterangan dari Kia. Ada dua orang petugas yang mengerti bahasa Utara. Mereka berjanji akan menyelidiki kasus ini. Mereka sementara menempatkanya sebagai saksi.
Tiga hari Kia berada dalam sel. Berduaan dengan perasaan rindu terhadap sosok ibu. Kantung matanya yang hitam menandakan dia sering menangis. Kedua polisi yang menjaganya, bergantian menghibur Kia. Mereka bertanya juga tentang orang yang dia kenal.
“Paman Zing” jawabnya.
“Baiklah nanti kita akan carikan paman Zing untukmu.”
“Kapan aku boleh keluar?” Tanya Kia.
“Sesegera mungkin kami akan memulangkanmu ke Utara”
“Tapi bagaimana dengan ibuku?”
“Tenang, kami juga akan mencarinya”
Di belakang Kia, kedua polisi itu membicarakan Amami. Berdasarkan penyelidikan bahwa pria itu telah menjual ibunya ketempat prostitusi dengan harga duaratus dollar. Polisi sengaja menyembunyikan kabar ini dari gadis itu. Bertujuan untuk menjaga perasaannya. Kia akhirnya dikembalikan ke negeri Utara.  Dengan dijemput oleh kedutaan Negara tersebut.
Bencana lain justru lebih mengerikan ketimbang harus mengetahui ibunya menjadi pelacur ditempat prostitusi. Kia dinyatakan sebagai buronan Negara dan difonis hukuman mati oleh sebab tuduhan pemberontakan atas kebijakan presiden.  
            Dari negeri Bambu dia langsung dibawa kehadapan presiden untuk menjalani hukuman. Tangan gadis empat belas tahun itu diikat dengan tali di belakang mobil sementara dia di luar sambil berjalan. Presiden bertubuh gempal, cepak, mengendarai mobil dengan perlahan. Dengan tubuh telanjang bulat, Kia harus berjalan agar tidak terseret. Sayang, monster itu semakin lama semakin mengencangkatn laju mobil. Malang, Si cantik tak mampu bertahan. Tubuhnya terseret hingga kulit gedis canitk itu terkelupas. Dia berteriak kencang. Meski begitu rasanya Kia sudah mati sebelum menjalani eksekusi ini. Dia telah kehilangan ibu dan masa kecil. Dia benar-benar sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa. Warga hanya mampu menontoninya dan bertepuk tangan dengan terpaksa. Karna peraturan mengharuskan begitu. Kalau kedapatan ada yang tidak menepukan tangannya. Sniper siap membuat lubang di kepala orang tersebut.
Setelah mendengar Kia kembali ke negeri Utara. Zing menyusul dan mencari ke kota. Bak ombak yang pecah menerjang karang. Zing menemukannya sedang berlumuran darah diseret dengan mobil menuju ketempat eksekusinya. Pria itu juga menyaksikan bagaimana kepala putri sahabatnya tertembus peluru. Mayat gadis itu tergeletak tanpa pakaian sehelaipun. Tidak ada perlakukan layaknya manusia. Dibiarkan dan dijadikan tontonan oleh warga sekitar.
            Monster gempal itu sengaja melakukan hal itu agar tidak ada lagi pemberontakan atas kekuasaannya. Sayang dia salah besar. Lubang kecil di Negara itu justeru membawa kehancuran. Zing pulang dan mengabarkan berita ini kepada pemerintah. Tidak hanya sampai disitu saja. Pemerintah negeri Bambu itu merespon dengan duka. Komnas HAM pun ikut serta menyuarakan kesedihan Kia kepada dunia. Aktifis-aktifis-nya kini menyuarakan keadalian bagi Kia bukan lagi untuk para gay dan kaum lesbian. Kia mencuri perhatian dunia untuk Negara Utara. Warga merasa memiliki kekuatan dan dukungan penuh. Kudetapun terjadi.

            Kisah Kia mencuri perhatian dunia. Semoga saja setelah ini mereka menemukan pemerintah yang baru dan lebih baik dari sebelumnya.


Oleh : Hilman Harhar
Bekasi, 13 September 2017


0 komentar:

Post a Comment

Kunang-kunang kehidupan

Barang kali, jika malam tidak segelap ini Orang akan lupa rasanya terlelap didalam gelap /Sunyi ini memang memaksa kita untuk tetap tingg...